Hari ini: Minggu, 8 Desember 2024

Middle Scale Dairy Farm Model untuk Program Susu Gratis di Indonesia

Deddy F. Kurniawan

Founder dan CEO, Dairy Pro Indonesia

Peternakan sapi perah di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan model dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir. Akhir tahun 70-an adalah momentum ketika program sapi perah dimulai dengan model peternakan kerakyatan dengan gaya koperasi persusuan. Pada pertengahan tahun 80-an, pemerintah melakukan inisiasi importasi puluhan ribu calon indukan sapi perah   dari australia dan menjadikan momentum ini sebagai penanda dimulainya model peternakan sapi perah besar-besaran namun masih dalam model peternakan kerakyatan. Model ini mendapat dukungan dan perlindungan sangat besar dari pemerintah dengan berbagai bentuk mulai subsidi bahan baku pakan hingga regulasi yang mewajibkan industri untuk menyerap 100% susu segar yang diproduksi peternak.

Akhir tahun 90-an adalah momentum era perubahan berikutnya ketika mulai munculnya mega dairy farm dengan populasi ribuan dan sistem yang serba modern. Dunia persapiperahan di Indonesia pun akhirnya berhasil menarik investasi besar-besaran dari swasta. pun pada tahun-tahun ini, perhatian pemerintah pada sektor persapiperahan kerakyatan mulai menurun dan imbasnya adalah menurunnya kemampuan koperasi dalam mempertahankan manajemen yang berdaya saing. Satu persatu koperasi tumbang karena tidak efisien dan bahkan peran dari induk dari koperasi persusuan kerakyatan yaitu Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) pun semakin merosot. Sebaliknya pertumbuhan peternakan sapi perah berbasis investasi swasta semakin marak. 

Pertengahan 2000-an adalah penanda semakin membesarnya investasi swasta seiring dengan fenoma baru yaitu munculnya para peternak menengah dengan skala puluhan yang memilih untuk tidak bergabung dengn koperasi persusuan yang sudah ada. Para peternak menengah ini adalah para pengusaha atau Orang Kaya Baru yang rindu dengan peternakan tapi merasa tidak cocok dengan sistem kerakyatan yang ada. Para peternak menengah ini memilih untuk melakukan hubungan langsung dengan industri pengolahan dan berupaya menjadi tokoh persusuan secara lokal. selanjutnya, para peternak menengah ini bertransformasi menjadi pengusaha berbasis peternakan sapi perah. Beberapa berkembang menjadi pengusaha industri pengolahan atau kuliner dan beberapa lainnya berubah menjadi pengusaha dalam industri wisata berbasis peternakan.  sebaliknya,  

program makan bergizi dan minum susu gratis membuahkan satu pertanyaan besar bagi pelaku peternakan sapi perah karena ketika kita berbicara susu, kita harus berbicara tentang sapi perah. Dengan situasi yang ada saat ini, model seperti apakah yang sebaiknya dikembangkan..? untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat karakter masing-masing model yang sudah ada terlebih melihat bagaimana karakter pelakunya (peternaknya).

Peternakan kerakyatan dicirikan dengan gaya peternak yang skala kepemilikannya adalah mikro.  Seluruh aktifitas dilakukan oleh peternak itu sendiri secara manual dan hanya melibatkan keluarga dekat. Sebagian besar peternak ini memiliki kemampuan ekonomis rendah sehingga membutuhkan banyak bantuan untuk melanjutkan usahanya. Diperkirakan 75% populasi sapi perah di Indonesai dipelihara dengan model ini.  Sebagian besar teknologi persapiperahan tidak bisa diterapkan pada skala ini karena tidak adanya efisiensi. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, maka sangat sulit bagi peternak skala ini untuk berkembang pesat kecuali ada intervensi bersar-besaran dari pemerintah secara langsung yang tentu saja membutuhkan sumber daya yang juga sangat besar. peternakan sapi perah pada skala ini tidak akan bisa bersaing dalam industri persusuan karena tidak akan pernah mencapai skala ekonomis yang masuk akal. Akses perbankan untuk skala ini juga terbatas pada KUR (Kredit Usaha Rakyat) atau KUPS (kredit Usaha Peternakan Sapi) dengan platform terbatas.   

Peternakan menengah (middle farm) dicirikan dengan skala yang lebih besar (10-100 ekor sapi) namun masih dengan gaya manajemen pribadi. Ketokohan lokal menjadi kunci utama karena dalam budaya masyarakat indonesia, sapi adalah rojokoyo. Sebagian masyarakat pedesaan di Indonesia belum merasa kaya jika belum memiliki sapi. Akibatnya, tokoh lokal pun berusaha masuk ke bidang ini dan ingin menjadi yang terbesar di kampungnya Motif ekonomi sudah mulai berjalan namun karena sebagian besar pelakunya tidak memiliki latar belakang peternakan atau kedokteran hewan, seringkali peternakan ini memiliki permasalahan teknis yang berujung pada permasalahan finansial. Rata-rata pelaku peternakan menengah dalam skala ini akhirnya kandas ditengah jalan jika tidak menggunakan tenaga ahli. Pun ketika menggunakan tenaga ahli, juga tidak menjamin keberlangsungan usaha karena Indonesia tidak banyak memiliki ahli yang memahami siklus bisnis usaha peternakan sapi perah sekaligus memiliki keahlian teknis manajemen peternakan dan medis persapiperahan. 

Peternakan skala besar (Mega Farm) dicirikan dengan populasi yang sudah ratusan hingga ribuan bahkan puluhan ribu. Sebagian besar memulai dengan skala ratusan namun dengan cepat menjadi peternakan dengan populasi ribuan. Peternakan yang dengan investasi besar ini fokus pada efisiensi dan penggunaan teknologi yang modern. Seluruhnya menggunakan model perkandangan “freestall barn system” untuk mengkondisikan micro climate. Sistem recording dan database digital menjadi standar manajemen untuk memudahkan analisa dalam menentukan strategi teknis maupun strategis. Penggunaan tenaga profesional dan konsultan ahli adalah hal wajib bagi peternakan skala besar ini. Perencanaan dilakukan secara matang dengan persiapan yang terukur serta menggunakan tenaga ahli sejak awal. penerapan standar prosedur operasional (SOP) dan kontrol pada indikator performa kunci (KPI) serta evaluasi menjadi rutinitas yang terstruktur dengan baik. Dampaknya, peternakan dengan model seperti ini memiliki peluang untuk berkembang dengan baik dan cepat. 

Berkaca pada penjelasan diatas, pemerintah perlu melihat secara proporsional.                                 pertama, pemerintah perlu merubah strategi yang diterapkan pada model peternakan kerakyatan skala mikro. Faktanya, meskipun berkembang secara lambat, peternakan kerakyatan terbukti bertahan selama lebih dari 50 tahun. Peternakan kerakyatan terbukti mampu menghambat laju urbanisasi dan menjaga penduduk desa untuk tetap tinggal di desa dan berpenghidupan. Maka tujuan dari strategi yang diterapkan untuk peternakan kerakyatan ini adalah memastikan adanya Social Security. Peternakan kerakyatan tetap harus diberikan proporsi untuk melanjutkan modelnya dengan segala keterbatasannya. Dukungan pada model ini bisa dilakukan dengan subsidi pada edukasi dan pendidikan peternakan agar peternak mampu meningkatkan taraf kehidupannya secara mandiri. 

Kedua, pemerintah perlu mendukung munculnya peternakan skala menengah dengan skala 200-500 populasi. Secara ekonomis, skala ini memiliki kelayakan usaha yang efisien dengan tetap mempertahankan gaya indonesia. Ketika sebuah peternakan mencapai populasi 200-500, maka peternakan ini memiliki cukup kelayakan finansial untuk menggunakan tenaga profesional dan teknologi modern untuk mencapai efisiensi optimal. pun, tampilan dari peternakan dengan skala ini sangat menarik sehingga akan membuat para profesional yang beraktifitas didalam nya memiliki motivasi tinggi karena terdapat tantangan tinggi  yang membuat adrenalin profesionalitas berada pada level puncak. Peternakan menengah dengan skala 200-500 memiliki kemampuan yang cukup untuk memiliki model bisnis yang fokus sehingga akan membuat keuntungan menjadi maksimal. Jika peternakan menengah dikerjakan dengan skala ini, secara otomatis juga akan merangsang kecepatan perkembangan instansi pendidikan karena tuntutan untuk menyiapkan tenaga profesional lokal akan semakin besar. Maka strategi pemerintah dalam hal ini adalah mempermudah terciptanya peternakan menengah dengan skala 200-500 ini serta melibatkan tenaga ahli berpengalaman yang sudah mulai ada di Indonesia serta mendorong lembaga pendidikan untuk menyiapkan tenaga profesional untuk skala ini. Seluruh prinsip bio security secara otomatis bisa diterapkan pada skala ini dan program pemerintah untuk melakukan kontrol keamanan masyarakat veteriner akan terjaga dengan sendirinya. 

Ketiga, bagaimana dengan peternakan skala besar..? Mega Dairy Farm di Indonesia sudah didukung investasi yang sangat besar dan secara otomatis sudah melibatkan tenaga ahli yang sangat profesional di bidangnya mulai dari perencanaan, pengerjaan hingga monitoring. Pemerintah perlu memberikan dukungannya dengan regulasi agar antara peternakan kerakyatan, peternakan menengah dan peternakan besar bisa saling bersinergi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *